
Jakarta, CNBC Indonesia-Dunia tidak menjadi baik memasuki penghujung 2024. Sederet kabar buruk terus berdatangan sehingga membuat ketidakpastian ke depan makin tinggi.
“Ketidakpastian ekonomi dunia makin tidak jelas,” kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) kala bertemu investor awal pekan ini.
Ucapan tidak menyenangkan itu benar adanya, bukan isapan jempol semata. Sudah selayaknya semua meningkatkan kewaspadaan agar tekanan terhadap perekonomian Indonesia ke depannya bisa diredam.
Baca:
Prabowo Punya Ambisi Bangun 15 Juta Rumah, Bos Properti Buka Suara
Persoalan pertama dari meningkatnya tensi geopolitik. Perang Rusia-Ukraina sudah memasuki tahun ketiga, akan tetapi belum ada titik terang perdamaian. Kedua negara masih saling serang, begitupun sokongan negara barat kepada Ukraina untuk menjatuhkan Rusia.
Tensi panas juga berlangsung antara Israel dan Hamas. Perang tidak hanya terjadi di Gaza. Kini perang sudah meluas ke Lebanon dan Iran. Banyak negara dibuat was-was, mengingat Iran adalah 1 dari 10 negara produsen minyak terbesar dunia, apalagi jika Amerika Serikat (AS) terlibat lebih jauh.
Dikutip dari Oilprice.com, analis Citi memperkirakan bahwa serangan besar oleh Israel terhadap kapasitas ekspor Iran dapat menghapus 1,5 juta barel per hari dari pasar, sementara serangan terhadap aset hilir dan infrastruktur yang relatif kecil dapat mengurangi 300.000-450.000 barel per hari. Menurut ANZ Bank, output minyak Iran mencapai level tertinggi dalam enam tahun yaitu 3,7 juta barel per hari pada bulan Agustus.
Sementara itu, Clearview Energy Partners memprediksi bahwa harga minyak bisa naik hingga US$28 per barel jika aliran terhambat di Selat Hormuz; US$13 per barel jika Israel menyerang infrastruktur energi Iran; dan US$7 per barel jika AS dan sekutunya memberlakukan sanksi ekonomi terhadap Iran.
Pada perdagangan, Kamis (10/10/2024) pukul 09:11 WIB, harga minyak brent naik 0,38% ke posisi US$76,87 per barel. Begitu pula dengan harga minyak WTI yang menguat 0,39% ke posisi US$73,53 per barel dibandingkan perdagangan sebelumnya (9/10/2024).
Selain risiko lonjakan harga minyak, dunia juga mengkhawatirkan gangguan rantai pasok perdagangan kembali terjadi. Ingat ketika perang Rusia dan Ukraina pecah, dunia mengalami krisis pangan dan energi secara bersamaan.
Masalah kedua adalah perlambatan ekonomi global. Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) dalam World Economic Outlook edisi Juli 2024 memperkirakan, pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini akan tetap di level 3,2%, sebagaimana perkiraan sebelumnya pada April 2024.
Lemahnya ekonomi global didorong oleh lesunya raksasa global. Amerika Serikat (AS) berpotensi jatuh ke jurang resesi seiring dengan upoya meredam inflasi yang tinggi dalam dua tahun terakhir.
China, meskipun tidak resesi akan tetapi pertumbuhan ekonomi pada level 5% jauh lebih rendah dari kebiasaannya. Negeri tirai bambau tersebut memiliki andil besar terhadap perdagangan dan investasi dunia, sehingga pelemahan ekonominya menjadi masalah buat negara lain.
Kawasan besar dengan porsi besar terhadap perekonomian adalah Eropa. Ada perbaikan memang dibandingkan sebelumnya namun juga belum cukup kuat. Diperkirakan pertumbuhannya berada pada rentang 0,8-1%.
Ketiga yaitu dinamika fiskal dan moneter global. Kala Bank Sentral AS Federal Reserve (the Fed) menurunkan suku bunga acuan pada bulan lalu, dunia bersorak seakan era higher for longer berakhir. Padahal tidak.
“Tadi ada yang mengatakan mengatakan era suku bunga tinggi sudah berakhir, padahal suku bunga di AS masih di 5%, 4,75% belum turun dan bahkan hari ini bertahan tinggi,” ucap Sri Mulyani sebagai sinyal kepada investor untuk tidak terlalu bahagia.
Kini suku bunga acuan bank sentral AS di kisaran 4,75-5,00% saat ini dari sebelumnya bertengger lama di kisaran 5,25-5,50%. Level tersebut masih sangat tinggi setelah naik hampir 500 bps empat tahun terakhir.
Dunia juga dihadapkan dengan situasi fiskal banyak negara dalam tekanan. Utang yang ditarik ketika pandemi covid-19 harus mulai dibayar.
Sayang tidak semua negara pada kondisi yang sama. Beberapa masih berkutat pada pemulihan, bahkan lebih buruk sehingga tidak mampu memenuhi kewajiban kepada investor. Antara lain, negara di kawasan Asia Selatan (kecuali India), Afrika dan Amerika Selatan.
Persoalan keempat adalah gejolak pasar keuangan. Tiga persoalan di atas membuat investor kalang kabut. Pengambilan keputusan atas penempatan modal menjadi sulit sehingga pilihannya adalah safe haven.
Dalam setahun terakhir dapat dilihat pergerakan liar dari indeks dolar (DXY). Dari level 106, turun ke 100 dan berbalik lagi menuju 102. Dolar AS menjadi penentu nasib mata uang dunia. Termasuk rupiah yang pasrah terombang-ambing.
Selain empat persoalan besar itu, ada tiga hal lain yang juga patut menjadi perhatian. Adalah perubahan iklim yang dampaknya tidak lagi hanya soal ancaman pasokan pangan, namun sudah level bencana besar dan kematian.
Perkembangan tekonologi dan AI turut menjadi perhatian. Kecanggihannya terus bertambah dan membuat mata dunia terpukau, akan tetapi perlu diingat sumber energi yang dibutuhkan.
Terakhir adalah penuaan penduduk. Negara besar dengan bonus demografi yang segera berakhir seperti Indonesia harus hati-hati. Gagal memitigasi akan menjadi beban besar di kemudian hari (*)
Sumber berita : CNBC Indonesia
